Selasa, 09 April 2013

cinta pada pacaran dan menikah



Aristoteles (hidup sekitar 384 SM, dikenal sebagai murid paling cerdas di Akademi Plato) gundah karena tak mampu menjelaskan dengan pasti beberapa persoalan pelik, yaitu persoalan manakah yang disebut Pacaran dalam Cintadan yang manakah yang disebut dengan Menikah dalam Cinta. Persoalan ini menjadi perdebadatan dikalangan masyarakat Yunani di Athena ketika itu.

Mereka memperdebatkan perihal Apa dan Bagaimanakah yang disebut denganPacaran dalam Cinta dan Menikah dalam Cinta. Karena perdebatan semakin tajam, alias tidak menemukan titik temu antara satu dengan lainnya, maka mereka mengadukan persoalan ini kepada Aristoteles. Akan tetapi,Aristoteles yang terkenal sebagai cerdik pandai ketika itu, tak mampu menjelaskan dengan pasti perihal yang mereka perdebatkan. Solusi dariAristoteles adalah mengadukan perihal ini pada guru beliau yang terkenal Arif Bijaksana yaitu Plato (hidup sekitar Tahun 427 - 347 SM, dikenal sebagai Arif Bijaksana)Aristoteles beranggapan bahwa orang yang bisa memberikan jalan keluar atas perdebatan ini adalah Gurunya.

Tanpa berpikir panjang, Dia segera menemui Plato untuk mengadukan masalah ini. Sesampainya ke PlatoAristoteles segera mengadukan persoalan yang dihadapinya. Dia menceritakan bahwa begitu sulitnya membedakan antaraPacaran dalam Cinta dan Menikah dalam Cinta, dan ini telah menjadi bahan perdebatan dikalangan cerdik pandai di Athena.

Tanpa banyak basa basi dan lainnya, Aristoteles segera mengajukan pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. Dia bertanya, "Wahai Guru, yang manakah yang disebut dengan Pacaran dalam Cinta itu" kata Aristoteles
.

Plato menjawab, "Jikalau engkau mau mengetahui apa yang disebut denganPacaran dalam Cinta, maka besok pergilah kau ke hutan dan ambilkan saya sekuntum bunga yang menurutmu paling indah."

Dengan tidak mengulur waktu dengan banyak pertanyaan dan embel-embel basi-basi lainnya, maka keesokan harinya Aristoteles segera menuju hutan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Plato untuk menuruti perintah Sang Guru, yaitu mengambil sekuntum bunga yang paling indah. Paling tidak paling indah menurut Aristoteles
.

Sebelum sampai kedalam hutan Aristoteles tertegun. Dia tertegun karena baru sampai dipinggir hutan saja, dia telah melihat sekuntum bunga yang indah yang belum pernah dilihatnya. Dan Aristoteles yang memiliki watak sebagai penyelidik, berpikir, dipinggir hutan saja bunganya sudah seindah ini, apalagi yang ada di dalam hutan tentu akan jauh lebih indah. Maka segeralah dia melewati kuntum bunga di pinggir hutan dan bergegas masuk ke dalamnya.

Sesampainya dalam hutan, ternyata apa yang dia pikirkan tentang bunga di pinggir hutan yang telah dilewatinya belum seberapa keindahannya. Di dalam hutan ini, bunga-bunga begitu indahnya dan beraneka ragam warna dan rupanya. Semuanya terlihat indah di matanya. Menarik di hatinya. Di kelilinginya hutan itu, ditelusurinya hingga semakin berjalan semakin banyak bunga yang dilihatnya. Dia berjalan terus, berkeliling dan memandangi bunga-bunga itu sepuasnya. Setelah sekian lama dia berjalan dan memilih bunga apa yang akan dibawanya kehadapan Sang Guru. Dicarinya dan akan dipilihnya bunga yang paling indah, namun tak jua kunjung bertemu. Hingga matahari condong ke barat, Aristoteles masih berkeliling hendak mencari bunga yang paling indah untuk dipersembahkan pada Sang Guru Plato tapi tak jua ketemu. Hingga ufuk barat mulai menampakkan bercak-bercak merah, Aristoteles belum jua bertemu dengan bunga yang paling indah hingga akhirnya dia kemalaman di dalam hutan.

Setelah kegelapan mulai menyergapnya, pandangan matanya tak lagi jelas membedakan bentuk dan warna bunga yang indah, Aristoteles mulai beripikir tentang bunga yang dilihatnya dipinggir hutan ketika ia baru memasuki hutan. Dengan rasa putus asa, Aristoteles bergegas menyisir pinggir hutan hendak memetik bunga di pinggir hutan. Tapi apa yang terjadi? ternyata bunga yang dilihatnya ketika sebelum masuk hutan pagi tadi telah dipetik orang lain, dan yang tersisa hanya tangkainya.

Aristoteles kemudian pulang dengan perasaan kecewa karena tidak membawa apa-apa. Dia berjalan lunglai, gontai hendak jatuh ke bumi karena memendam rasa kecewa. Kecewa yang bertambah tambah.

Segeralah Aristoteles menemui Sang Guru, Plato.

Sesampainya di hadapan Plato, dia langsung diserang dengan pertanyaan menyelidik. "Aristoteles, Kenapa kau tidak membawakan aku sekuntum bunga yang paling iindah yang ada di dalam hutan??" kata Plato
.

Aristoteles kemudian menjelaskan perihal alasan, mengapa dia tidak membawa serta sekuntum bunga sebagaimana yang diperintahkan kepadanya semalam. Dia menceritakan kejadian demi kejadian yang dialaminya dengan khidmat dan detail tanpa ada yang dikurangi dan ditambahkannya. Mmulai dari pinggir hutan hutan, hingga sampai gelap malam dan pikirannya tentang sekuntum bunga yang dipinggir hutan.

Plato kemudian menjawab, "Aristoteles, itulah yang disebut dengan Pacaran dalam Cinta."

Kemudian, Aristoteles bertanya. "Guru, lalu yang manakah yang disebut dengan Menikah dalam Cinta?".

"Besok kau pergilah ke hutan, dan ambilkan saya sekuntum bunga yang menurutmu paling indah" perintah Plato
.

Tanpa banyak berpikir dan bertanya, keesokan harinya Aristoteles segera bergegas menuju hutan tempat dia mencari bunga seperti kemarin. Namun, sebelum sampai di hutan, masih dipinggir hutan, Aristoteles melihat sekuntum bunga yang belum mekar. Bunga itu masih menunggu mentari pagi menyapanya. Bunga itu masih dalam kuncup. Bunga itu masih berselimutkan embum pagi.Aristoteles langsung memetiknya tanpa banyak berpikir.

Dia bergegas menuju Sang Guru, Plato. Segera disodorkannya kuntum bunga itu. "Guru, aku membawakanmu sekuntum bunga yang menurutku paling indah yang telah kupetik dari pinggir hutan. Aku membawakannya sesuai dengan perintahmu." sahut Aristoteles
.

"Aristoteles, kenapa engkau memetik bunga yang masih dalam kuncup seperti ini? Kenapa kau tak membiarkannya mekar tersenyum bersama mentari pagi. Kenapa kau tak membiarkannya embum melepas pelukannya. Tidakkah kau melihat begitu banyak bunga yang bermekaran, segala rupa bentuk warna yang indah ada di hutan sana. Mengapa engkau membawakan aku bunga yang seperti ini?" selidik Plato.

Memastikan penyelidikan itu, Aristoteles hanya mengangguk dan membenarkan kata-kata Gurunya. "Guru, memang benar di hutan sana begitu banyak bentuk rupa dan warna bunga yang bermekaran. Enak dipandang mata, menenangkan jiwa namun begitu banyaknya. Guru, saya tidak ingin seperti kemarin. Saya takut kemalaman dan tak membawa apa-apa di hadapan Guru" jelas Aristoteles.

Sambil tersenyum, Plato mengangguk dan berkata, "Wahai Aristoteles, sesungguhnya itulah yang disebut dengan Menikah dalam Cinta".


Bunga itu memang masih kuncup, tapi akan kutunggu hingga mekar dengan sendirinya....






dikutip dari sebuah notes teman yang insya allah 5 mei ini akan melangsungkan pernikahannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar